mathaijoseph.com – Peralihan dari masa kanak-kanak ke remaja seringkali mengejutkan bagi orangtua. Anak-anak yang dulunya polos, kini tampil seperti “miniatur orang dewasa.” Perubahan fisik dan sosial terjadi begitu cepat. Banyak orangtua merasa kehilangan kedekatan yang dulu mereka miliki. Namun, perubahan ini bukan sesuatu yang harus ditakuti—melainkan dimaknai sebagai proses alami menuju kedewasaan.
Era digital membuat proses pendewasaan tampak lebih cepat. Anak-anak kini terekspos informasi lebih dini dan cenderung mengembangkan minat serta keahlian sejak usia muda. Menurut Dr. Debbie Raphael, psikiater anak dan remaja, “Remaja masa kini memperoleh lebih banyak informasi dan lebih cepat memasuki dunia orang dewasa, baik dari media sosial maupun lingkungan sekitar.”
Dalam studi yang diterbitkan oleh Pew Research Center (2024), 59% anak usia 9-12 tahun mengakses media sosial setiap hari, dan 72% merasa tertekan untuk tampil sempurna secara online. Ini menunjukkan bahwa tekanan terhadap citra diri dimulai lebih awal dari generasi sebelumnya.
Daripada meratapi perubahan ini, orangtua justru perlu memberikan ruang aman bagi anak untuk tumbuh secara utuh. Alih-alih menuntut kesempurnaan, berikan mereka izin untuk gagal, mengeksplorasi diri, dan merasa cukup dengan menjadi diri sendiri.
Dorong Ekspresi Diri dan Hubungan Sehat di Era Digital
Anak usia praremaja mulai mencari jati diri, dan dalam proses ini, mereka butuh wadah untuk mengekspresikan emosi serta minat. Orangtua bisa membantu dengan menyediakan ruang kreatif: seni, menulis jurnal, konten digital, atau sekadar mendekorasi kamar. Aktivitas ini membantu mereka memahami diri dan membangun identitas.
Hubungan sosial anak juga berubah. Jika dulu bermain langsung adalah cara utama bersosialisasi, kini layar menjadi jembatan pertemanan. Ini tidak berarti hubungan mereka dangkal. Sebaliknya, menurut Common Sense Media, lebih dari 60% remaja melaporkan merasa “lebih dekat” dengan teman-temannya melalui platform daring.
Orangtua dapat memanfaatkan teknologi untuk memperkuat koneksi. Tonton konten yang mereka suka, ikuti media sosial mereka (dengan izin), dan gunakan momen daring sebagai kesempatan untuk berdialog. Dr. Raphael menyarankan, “Prioritaskan kesehatan hubungan. Ini jauh lebih penting daripada mengatur waktu layar secara kaku.”
Dengan begitu, orangtua tidak hanya menjadi pengamat, tetapi juga mitra dalam perjalanan anak memahami dunia digital dan realitas di sekitarnya.
“Baca Juga: NMAX dan PCX 2025 Hadir dengan Fitur Terbaru“
Tunjukkan Empati, Bukan Asumsi: Anak Tetap Butuh Bimbingan Orangtua
Penampilan anak yang tampak “dewasa” sering menimbulkan kekhawatiran. Tapi penting untuk tidak menilai berdasarkan tampilan luar. Remaja banyak meniru tren tanpa memahami maknanya secara utuh. Di sinilah empati orangtua dibutuhkan.
Menunjukkan kepada anak bahwa tidak apa-apa menjadi tidak sempurna bisa jadi langkah penting. Ketika rumah menjadi tempat yang menerima ketidaksempurnaan, pengaruh negatif media sosial bisa berkurang. Ini sejalan dengan temuan dari American Academy of Pediatrics (2023) yang menyatakan bahwa dukungan emosional dari keluarga adalah faktor protektif terbesar terhadap tekanan media sosial.
Hindari memberi label atau asumsi cepat. Gunakan pendekatan bertanya daripada menghakimi. “Kenapa kamu suka gaya itu?” lebih baik daripada “Kamu terlalu cepat dewasa.” Ini membantu anak merasa dimengerti dan tidak dijauhi saat sedang mengeksplorasi identitas mereka.
Generasi Alpha, yang lahir di era digital, memang lebih cepat memahami teknologi. Tapi mereka tetap anak-anak yang butuh arahan, dukungan, dan rasa aman dari orang terdekat. Dengan komunikasi terbuka, empati, dan ruang yang sehat, orangtua bisa menjadi bagian penting dalam tumbuh kembang anak di masa remajanya.
“Simak Juga: SUV YU7 dari Xiaomi Raup 289 Ribu Pesanan dalam Satu Jam“
Leave a Reply